Tanam Paksa atau Cultur Stelsel

Advertisement
Pada tahun 1830, pemerintah Belanda mengangkat gubernur jenderal yang baru untuk Indonesia, yaitu Van den Bosch, yang diserahi tugas untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor, seperti tebu, teh, tembakau, merica, kopi, kapas, dan kayu manis. Dalam hal ini, Van den Bosch mengusulkan adanya sistem tanam paksa.
 
Latar belakang tanam paksa.
  1. Di Eropa, Belanda terlibat perang melawan Belgia sehingga menghabiskan biaya yang besar.
  2. Di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), banyak terjadi perlawanan dari rakyat, seperti Perang Diponegoro dan Perang Padri yang juga menguras keuangan Belanda.
  3. Kas negara Belanda kosong dan utang yang ditanggung Belanda cukup berat.
  4. Pemasukan uang dari penanaman kopi tidak banyak.
Tujuan diadakannya tanam paksa
adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, guna menutupi kekosongan kas negara dan untuk membayar utangutang negara. Adapun pokok-pokok aturan tanam paksa sebagai berikut.
  1. Seperlima tanah penduduk wajib ditanami tanaman yang laku dalam perdagangan internasional/Eropa.
  2. Tanah yang ditanami bebas pajak.
  3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman perdagangan tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam padi.
  4. Hasil tanaman perdagangan diserahkan kepada pemerintah dan jika harga yang ditaksir melebihi pajak, kelebihan itu milik rakyat dan diberikan cultuur procenten
  5. Kegagalan tanaman/panen menjadi tanggung jawab pemerintah.
Pelaksanaan tanam paksa diselewengkan oleh Belanda dan para petugasnya yang berakibat membawa kesengsaraan rakyat. Bentuk penyelewengan tersebut, misalnya, kerja tanpa dibayar untuk kepentingan Belanda  (kerja rodi), kekejaman para mandor terhadap para penduduk, dan eksploitasi kekayaan Indonesia yang dilakukan Belanda.

Melihat penderitaan rakyat Indonesia, kaum humanis Belanda menuntut agar tanam paksa dihapuskan. Sementara itu di pihak Belanda, tanam paksa membawa keuntungan yang besar. Praktik tanam paksa mampu menutup kas negara Belanda yang kosong sekaligus membayar utang-utang akibat banyak perang. Adapun tokoh-tokoh kaum humanis anti tanam paksa sebagai berikut.
  1. Eduard Douwes Dekker yang memprotes pelaksanaan tanam paksa melalui tulisannya berjudul Max Havelaar. Dalam tulisan tersebut, ia menggunakan nama samaran Multatuli, artinya aku yang menderita.
  2. Baron van Hoevell, ia seorang pendeta di Batavia yang berjuang agar tanam paksa dihapuskan. Usahanya mendapat bantuan Menteri Keuangan Torbecke.
  3. Fransen van de Pute, ia seorang anggota Majelis Rendah yang mengusulkan tanam paksa dihapuskan.
  4. Van Deventer, pada tahun 1899, menulis artikel berjudul Een Eereschuld (Utang Budi) yang dimuat dalam majalah De Gids
Selain dari kaum humanis Belanda, pelaksanaan tanam paksa juga mendapat reaksi dari rakyat pribumi, misalnya perlawanan di Pariaman, Sumatra Barat (1841), di Padang (1844), dan di Jawa (1846) dengan membakar kebun tembakau milik Belanda.
tanam paksa
Akhirnya, tanam paksa dihapuskan, diawali dengan dikeluarkannya undang-undang (Regrering Reglement) pada tahun 1854 tentang penghapusan perbudakan. Namun pada praktiknya, perbudakan baru dihapuskan pada tanggal 1 Januari 1860.

Selanjutnya, pada tahun 1864 dikeluarkan Undang-Undang Keuangan (Comptabiliteits Wet) yang mewajibkananggaran belanja Hindia Belanda  disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Dengan demikian, ada pengawasan dari Badan Legislatif di Nederland. Kemudian pada tahun 1870 dikeluarkan UU Gula (Suiker Wet) dan UU Tanah (Agrarische Wet). Tanam paksa benar-benar dihapuskan pada tahun 1917. Sebagai bukti, kewajiban tanam kopi di Priangan, Manado, Tapanuli, dan Sumatra Barat dihapuskan.

Dampak Tanam Paksa
  1. Dalam bidang pertanian : Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh.
  2. Dalam bidang sosial : khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
  3. Dalam bidang ekonomi : Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula.
  4. Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri.

0 Response to "Tanam Paksa atau Cultur Stelsel"

Posting Komentar

wdcfawqafwef